Napas di Genggaman Ibu Lautan
Oleh Aisyah Aprilia Syofi (XI IPS 4)
Kata para orangtua, laut adalah rumah kami, tempat kami menyangga kehidupan, sekaligus tempat yang layak kami sebut sebagai rumah. Mereka bilang, Laut tidak jahat, laut selalu baik karena laut adalah teman setia. Tetapi tidak bagiku. Namaku Linggar dan usiaku lima belas tahun. Aku adalah salah seorang dari anak ‘Suku Laut’ yang tidak memiliki identitas di Tanah Nusantara.
Aroma laut tercium begitu pekat seperti biasa. Angin semilir tampak bersahabat dan itulah yang aku rasakan siang ini. Air laut disekelilingku terasa menenangkan, hingga ombak tidak lagi menjadi masalah bagiku. Tetapi, ada masalah lain yang lebih besar daripada itu.
Sampanku merapat di bibir pantai. Kutambatkan ia di tiang rumah panggung lalu turun. Mataku memandang ke arah rumah-rumah panggung milik suku kami, di tanah perkampungan yang dinamai Kampung Air Mas. Suasana tampak lenggang, tidak ada aktivitas yang mencolok karena para ayah dan anak laki-laki pergi ke laut untuk mencari hasil laut, sementara para perempuan tetap di rumah untuk menunggu hasil tangkapan yang akan dijual ke pasar.
“Linggar!” suara teriakan itu membuyarkan lamunan singkatku. Aku tersentak sedikit, menyadari siapa yang memanggilku.
Seorang gadis berusia dua belas tahun berlari ke arahku. Namanya Sarah, adik perempuanku. Sarah memandang ke arah sampanku dan menyadari bahwa benda itu kosong, hanya ada jala-jala tidak berisi.
“Bagaimana?” tanya Sarah. Nada suaranya tidak terdengar berharap, tetapi aku tahu dia mengharapkan keberhasilanku memperoleh tangkapan ikan yang memuaskan.
Aku terdiam sejenak, kemudian kepalaku menggeleng pelan, “Tidak ada.”
Sarah turut diam, menyadari bahwa lagi-lagi nasib seperti ini menimpa kami. Bukan sekali-dua kali kami tidak mendapat apa-apa meskipun aku mengapung berjam-jam di lautan. Umpanku habis sia-sia, tanpa ada tangkapan di dalamnya.
“Ya, sudah, barangkali Bapak dapat tangkapan bagus,” ujar Sarah sembari mengangkat bahu, seakan menghibur dirinya sendiri dan diriku. Aku tersenyum tipis, mengangguk, kemudian mengacak-acak rambut adikku.
Kami berjalan bersama kembali ke rumah panggung. Dulunya saat Kakek masih hidup, beliau dengan berapi-api bercerita bahwa nenek moyang kami hidup di lautan, tidur diatas sampan, dan di bawah bintang-bintang. Kami berpindah dari satu lautan ke lautan lain, tidak pernah tersesat karena kami sangat hebat membaca navigasi. Tetapi kini, kebanyakan suku Laut mulai menetap di daratan, tidak lagi mengarungi lautan. Hanya sedikit yang mengarungi lautan dengan sampan-sampan sebagai tempat tinggal.
Cerita kakek terus berlanjut meskipun lampu petronaks kami nyaris padam. Beliau bercerita bahwa nenek moyang kami dulunya Raja Lautan. Tidak kenal takut akan ombak atau pun akan cerita-cerita mitos mengenai laut. Karena bagi mereka, laut adalah tempat kami hidup dan dibesarkan.
“Lautan adalah Ibu kita, Linggar. Kita Suku Laut adalah anak dari samudra yang lahir dari buih-buih lautan.” Kata-kata itu terngiang di telingaku hingga saat ini meskipun Kakek tidak lagi hidup.
Langkah kakiku membawaku ke dalam rumah panggung kami. Rumah yang tampak sederhana, tidak banyak perabotan, tidak ada listrik, tetapi inilah rumah kami. Suasana rumah lenggang, aku tidak menemukan Ibu dimana pun. Aku menoleh ke arah Sarah, “Mana Ibu?”
“Di TPA bersama ibu-ibu tetangga lainnya.”
Aku mengangguk, diam-diam merasakan miris dalam hatiku. Tidak hanya ibu, tetapi para istri di kampung ini kerap kali pergi ke TPA untuk memulung karena keluarga mereka tidak bisa hanya mengandalkan hasil tangkapan saja, apalagi dalam keadaan seperti ini. Terkadang jika beruntung, ibu membawa pulang makanan sisa yang masih bisa dikonsumsi entah itu buah-buahan, kue, atau minuman kaleng.
Aku mengistirahatkan diri di dipan bambu di teras rumah panggung. Sementara, Sarah pergi ke dapur. Mataku memandang langit selagi aku beristirahat, bertanya-tanya dalam benak, bagaimana rasanya sekolah?
Kuberi kalian satu fakta menyakitkan lagi, kebanyakan anak-anak dikampung kami tidak sekolah. Kalau bersekolah pun paling tinggi hingga jenjang SMP. Alasannya? Karena kami dianggap tertinggal dan terlalu bodoh untuk mengejar pendidikan. Di sekolah, kami direndahkan seolah kami hanya masyarakat pedalaman yang hina, padahal kami hanya rakyat Indonesia pada umumnya, yang hidup diantara budaya. Perundungan dan diskiminasi, menjadi kebiasaan yang kami terima saat kami sekolah. Karena itulah, kebanyakan anak-anak suku kami memutuskan berhenti bersekolah. Menurut mereka, lebih baik menghadapi badai di lautan daripada menghadapi para manusia di daratan. Sialnya, aku setuju dengan pendapat itu.
Malam hari, suasana Kampung Air Mas masih lenggang, tetapi aktivitas di setiap rumah panggung tetap hidup karena para ayah sudah pulang dari melaut. Kami menikmati makan malam bersama, kemudian Ibu menyuruh aku dan Sarah beristirahat. Aku masuk ke dalam kamarku yang tidak berpintu, hanya berbataskan kelambu hingga aku bisa mendengar pembicaraan Bapak dan Ibu.
“Ikan seperti menghilang begitu saja, Bu. Hasil tangkapan semakin menurun, bahkan Pak Ali, tetangga kita tidak mendapat ikan satu pun.” Bapak berbicara sambil memperbaiki jala yang telah rusak. Ibu mengangguk sambil meletakkan kopi di hadapan Bapak.
“Kau benar, Pak. Tadi siang saja Linggar tidak mendapatkan hasil tangkapan apa pun.” Ibu membalas dan duduk di atas tikar. Tangan Ibu yang sedikit kasar dengan lihai membantu Bapak memperbaiki jala.
“Sekarang semua pandai melaut, Bu. Padahal dulu hanya kita yang ada di lautan.”
Diam-diam, aku setuju dengan pernyataan Bapak. Sekarang semua pandai melaut, bahkan menggunakan peralatan modern, sedangkan kami masih menggunakan peralatan tradisional yang jelas kalah saing.
Aku menghela napas, memandang langit-langit kamar dengan hampa. Aku memikirkan betapa mirisnya nasib suku kami, sementara sayup-sayup suara Ibu dan Bapak mengalun di telingaku. Tentang bagaimana pemerintah hanya memberikan janji kosong pada kami, berucap seolah peduli, padahal hanya sekedar fantasi. Mereka memang memberikan kami tanah perkampungan ini, membantu membangun rumah-rumah panggung kami, tetapi tidak dengan membangun kehidupan di dalamnya.
“Burung dalam sangkar, itulah kita sekarang, Linggar. Kehidupan kita semakin terdesak. Lihatlah kapal-kapal besar itu jika dibandingkan dengan sampan kecil kita. Lihatlah perusahaan itu merusak rumah kita, merusak laut kita. Linggar, Ibu kita sudah rusak, Nak, rusak oleh para manusia serakah.” Kata-kata Kakek seketika menggema di dalam pikiranku. Kubayangkan saat orang tua itu memandang kosong ke arah laut, seakan mencari kemana kejayaan leluhurnya berada.
Memoriku seakan memanggil saat Kakek menceritakan kejayaan nenek moyang kami yang bahkan sekarang tidak ada lagi jejaknya. Lautan terlalu ganas untuk kami arungi dan daratan terlalu kejam untuk kami tinggali. Kemanakah kami harus pergi?
***
Posting Komentar