SUKU MENTAWAI : TRADISI PASIPIAT SOT MENTAWAI
Oleh: Gita Para Mesti
SMA Laboratorium UM
Sebanyak 17.508 pulau yang terdiri dari 38
provinsi dihuni oleh lebih dari 360 suku bangsa. Hal ini membuat Indonesia kaya akan
keberagaman tradisi dan budaya di Indonesia. Keberagaman tradisi dan budaya
muncul sebagai hasil dari interaksi kompleks antara manusia dan lingkungannya
sepanjang sejarah manusia. Provinsi yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara
ini tentunya kaya akan kebudayaan, salah satunya yaitu di provinsi Sumatera.
Sumatera memiliki banyak suku bangsa diantaranya yaitu suku Melayu, Batak,
Minangkabau, Aceh, Lampung, Karo, Nias, Rejang, Komering, Gayo, Enggano,
Devayan, dan suku-suku lainnya. Namun ada salah satu suku yang memiliki tradisi
unik, yaitu suku Mentawai. Tradisi seperti apakah itu? Mari simak penjelasan
berikut!
Sebelum kita beranjak lebih jauh, alangkah
baiknya kita mengenal seperti apakah suku Mentawai itu? Suku Mentawai adalah
suku asli yang menetap di Kepulauan Mentawai, Pulau Siberut, Sumatera Barat
yang berada di pedalaman. Kepulauan Mentawai memiliki empat pulau utama, yaitu
Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora, dan Siberut. Wilayah tersebut memiliki luas
sekitar 4.489 Km. Dengan jumlah penghuni sekitar 30 ribu jiwa. Diyakini, para
nenek moyang suku Mentawai telah bermigrasi ke wilayah ini antara 2000-500 SM. Disamping
itu tradisi yang akan kita bahas juga sudah ada sejak eksistensi
pertama kali suku tersebut mendiami Kepulauan Mentawai.
Pada umumnya seorang wanita yang ingin
terlihat cantik melakukan perawatan wajah dan menjaga bentuk tubuhnya, namun
hal berbeda terjadi pada perempuan di suku Mentawai. Mereka mempercantik diri
dengan meruncingkan gigi dan membuat tato di tubuhnya. Warga lokal menyebut
tradisi unik ini dengan julukan Pasipiat Sot Mentawai yang dilakukan oleh para
wanita suku Mentawai, yaitu meruncingkan atau mengerik gigi dan bertato bagi
para wanita.
Masyarakat suku Mentawai percaya bahwa untuk
mendapatkan kebahagiaan dalam jiwa harus diikuti dan sejalan dengan bentuk
tubuh. Proses kerik gigi wanita suku Mentawai dilakukan secara manual dengan
alat dari besi yang telah diasah hingga tajam. Proses meruncingkan gigi ini
sangat menyakitkan karena dilakukan tanpa proses anestesi (bius) sama sekali.
Pengerikan gigi ini juga memakan waktu yang cukup lama sehingga butuh mental
yang kuat dan tangguh bagi yang ingin melakukannya. Namun meskipun terasa
menyakitkan, tradisi ini masih dijaga erat oleh masyarakat Mentawai.
Tidak jarang para wanita menantikan
prosesi peruncingan gigi ini dengan tujuan agar dapat terlihat cantik dan
menawan dengan bentuk gigi mereka. Biasanya prosesi ini diikuti oleh wanita
yang akan menikah. Tradisi kerik gigi ini dimaknai sebagai salah satu
perjuangan para wanita suku Mentawai dalam menemukan jati dirinya dan Suku
dimaknai tradisi ini sebagai sikap untuk mengendalikan diri dari enam sifat
buruk manusia yang telah lama tertanam atau disebut juga sebagai Sad Ripu, yang
terdiri atas hawa nafsu (Kama), tamak (Lobha), marah (krodha), mabuk (Maba),
iri hati (Matsarya), dan bingung (Moha).
Berdasarkan penjelasan mengenai tradisi
suku Mentawai, bahwa tradisi yang dimiliki pulau Sumatera ini menjadi salah
satu kekayaan budaya non material yang dimiliki Indonesia, indetitas bangsa,
dan sebagai alat pemersatu nusantara.
Kekayaan budaya inilah yang sudah seharusnya dijaga oleh bangsa Indonesia.
Tidak hanya kebudayaan Sumatera, namun seluruh kebudayaan hendaknya dijaga dan
dilestarikan agar kita tidak kehilangan jati diri atau identitas sebagai bangsa
Indonesia.
Melihat
kenyataan bahwa pemuda bangsa Indonesia saat ini lebih memilih kebudayaan asing
yang mereka anggap lebih menarik ataupun lebih unik dan praktis. Kebudayaan
lokal banyak yang luntur akibat dari kurangnya pemuda bangsa yang memiliki
minat untuk belajar dan mewarisinya, seperti yang dikemukakan oleh (Marcus
garvey) "orang yang tidak mengetahui sejarah asal usul dan budaya masa
lalunya seperti pohon tanpa akar" dari kata-kata Marcus Garvey kita dapat
menyimpulkan bahwa kita sebagai pemuda bangsa Indonesia harus belajar akan
budaya kita agar tidak mudah tumbang seperti pohon tanpa akar.
Berkembangnya
teknologi yang semakin pesat dan disertai dengan penyimpangan penyimpangan di
dalamnya menjadi pemicu munculnya isu globalisasi yang membuat rusak tatanan
dan kebudayan bangsa indonesia. Dengan demikian kita butuh mengimplementasikan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan para generasi muda penerus bangsa, dengan
menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara agar dapat merubah cara pikir para pemuda bangsa.
Sudahkan
kita merenungkan betapa pentingnya kebudayaan bagi kepentingan bangsa Indonesia?
Bagaimana jadinya jika pemuda bangsa melenyapkan kebudayaan yang sudah
diwariskan nenek moyang dan susah payah dijaga oleh generasi sebelumnya? Maka
pertimbangkanlah upaya apa saja yang harus dilakukan agar pemuda bangsa bisa
membuka lebar kesadaran betapa pentingnya budaya yang ada di Nusantara.
Posting Komentar