https://4directionews.blogspot.com/p/tema-kebudayaan-indonesia-menyatukan.html

Kamis, 02 Mei 2024

Tradisi pasipiat sot mentawai

 

SUKU MENTAWAI : TRADISI PASIPIAT SOT MENTAWAI

Oleh: Gita Para Mesti
SMA Laboratorium UM


Sebanyak 17.508 pulau yang terdiri dari 38 provinsi dihuni oleh lebih dari 360 suku bangsa.  Hal ini membuat Indonesia kaya akan keberagaman tradisi dan budaya di Indonesia. Keberagaman tradisi dan budaya muncul sebagai hasil dari interaksi kompleks antara manusia dan lingkungannya sepanjang sejarah manusia. Provinsi yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara ini tentunya kaya akan kebudayaan, salah satunya yaitu di provinsi Sumatera. Sumatera memiliki banyak suku bangsa diantaranya yaitu suku Melayu, Batak, Minangkabau, Aceh, Lampung, Karo, Nias, Rejang, Komering, Gayo, Enggano, Devayan, dan suku-suku lainnya. Namun ada salah satu suku yang memiliki tradisi unik, yaitu suku Mentawai. Tradisi seperti apakah itu? Mari simak penjelasan berikut!

Sebelum kita beranjak lebih jauh, alangkah baiknya kita mengenal seperti apakah suku Mentawai itu? Suku Mentawai adalah suku asli yang menetap di Kepulauan Mentawai, Pulau Siberut, Sumatera Barat yang berada di pedalaman. Kepulauan Mentawai memiliki empat pulau utama, yaitu Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora, dan Siberut. Wilayah tersebut memiliki luas sekitar 4.489 Km. Dengan jumlah penghuni sekitar 30 ribu jiwa. Diyakini, para nenek moyang suku Mentawai telah bermigrasi ke wilayah ini antara 2000-500 SM. Disamping itu tradisi yang akan kita bahas juga sudah ada sejak eksistensi pertama kali suku tersebut mendiami Kepulauan Mentawai.

Pada umumnya seorang wanita yang ingin terlihat cantik melakukan perawatan wajah dan menjaga bentuk tubuhnya, namun hal berbeda terjadi pada perempuan di suku Mentawai. Mereka mempercantik diri dengan meruncingkan gigi dan membuat tato di tubuhnya. Warga lokal menyebut tradisi unik ini dengan julukan Pasipiat Sot Mentawai yang dilakukan oleh para wanita suku Mentawai, yaitu meruncingkan atau mengerik gigi dan bertato bagi para wanita.

 Masyarakat suku Mentawai percaya bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan dalam jiwa harus diikuti dan sejalan dengan bentuk tubuh. Proses kerik gigi wanita suku Mentawai dilakukan secara manual dengan alat dari besi yang telah diasah hingga tajam. Proses meruncingkan gigi ini sangat menyakitkan karena dilakukan tanpa proses anestesi (bius) sama sekali. Pengerikan gigi ini juga memakan waktu yang cukup lama sehingga butuh mental yang kuat dan tangguh bagi yang ingin melakukannya. Namun meskipun terasa menyakitkan, tradisi ini masih dijaga erat oleh masyarakat Mentawai.

Tidak jarang para wanita menantikan prosesi peruncingan gigi ini dengan tujuan agar dapat terlihat cantik dan menawan dengan bentuk gigi mereka. Biasanya prosesi ini diikuti oleh wanita yang akan menikah. Tradisi kerik gigi ini dimaknai sebagai salah satu perjuangan para wanita suku Mentawai dalam menemukan jati dirinya dan Suku dimaknai tradisi ini sebagai sikap untuk mengendalikan diri dari enam sifat buruk manusia yang telah lama tertanam atau disebut juga sebagai Sad Ripu, yang terdiri atas hawa nafsu (Kama), tamak (Lobha), marah (krodha), mabuk (Maba), iri hati (Matsarya), dan bingung (Moha).

Berdasarkan penjelasan mengenai tradisi suku Mentawai, bahwa tradisi yang dimiliki pulau Sumatera ini menjadi salah satu kekayaan budaya non material yang dimiliki Indonesia, indetitas bangsa, dan sebagai alat pemersatu  nusantara. Kekayaan budaya inilah yang sudah seharusnya dijaga oleh bangsa Indonesia. Tidak hanya kebudayaan Sumatera, namun seluruh kebudayaan hendaknya dijaga dan dilestarikan agar kita tidak kehilangan jati diri atau identitas sebagai bangsa Indonesia.

Melihat kenyataan bahwa pemuda bangsa Indonesia saat ini lebih memilih kebudayaan asing yang mereka anggap lebih menarik ataupun lebih unik dan praktis. Kebudayaan lokal banyak yang luntur akibat dari kurangnya pemuda bangsa yang memiliki minat untuk belajar dan mewarisinya, seperti yang dikemukakan oleh (Marcus garvey) "orang yang tidak mengetahui sejarah asal usul dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar" dari kata-kata Marcus Garvey kita dapat menyimpulkan bahwa kita sebagai pemuda bangsa Indonesia harus belajar akan budaya kita agar tidak mudah tumbang seperti pohon tanpa akar.

Berkembangnya teknologi yang semakin pesat dan disertai dengan penyimpangan penyimpangan di dalamnya menjadi pemicu munculnya isu globalisasi yang membuat rusak tatanan dan kebudayan bangsa indonesia. Dengan demikian kita butuh mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan para generasi muda penerus bangsa, dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar dapat merubah cara pikir para pemuda bangsa.

Sudahkan kita merenungkan betapa pentingnya kebudayaan bagi kepentingan bangsa Indonesia? Bagaimana jadinya jika pemuda bangsa melenyapkan kebudayaan yang sudah diwariskan nenek moyang dan susah payah dijaga oleh generasi sebelumnya? Maka pertimbangkanlah upaya apa saja yang harus dilakukan agar pemuda bangsa bisa membuka lebar kesadaran betapa pentingnya budaya yang ada di Nusantara.

 

 

 

 

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search